Otomatis
Mode Gelap
Mode Terang

Pakar: Rencana DPR Evaluasi MK Tak Baik untuk Demokrasi

Editor:  Rozie Winata
Reporter: Luki Setiawan
WhatsApp LogoTemukan Nusantaraterkini.co di WhatsApp!!
Mahkamah Konstitusi. (Foto: istimewa)

Nusantaraterkini.co, JAKARTA - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berencana akan mengevaluasi posisi Mahkamah Konstitusi (MK) karena dianggap mengerjakan banyak urusan yang bukan menjadi kewenangannya. Salah satunya mengenai Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).

MK meninjau ulang Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, tetapi akhirnya MK turut masuk pada hal-hal teknis, sehingga DPR menganggap MK sudah melampaui batas kewenangannya.

Pakar Hukum Tata Negara Prof Rudy Lukman menilai upaya DPR yang akan mengevaluasi posisi MK itu sangat politis dan tidak baik untuk demokrasi.

"Rezim Pilkada ini sudah masuk ke dalam rezim Pemilu berdasarkan Putusan MK. Pilkada serentak saat ini pun adalah hasil dari undang-undang yang dibentuk DPR menindaklanjuti Putusan MK tersebut," katanya, Senin (2/9/2024).

Namun Prof Rudy mengungkapkan, sepanjang tidak mengevaluasi kewenangan yang diberikan konstitusi (UUD 1945), sebenarnya sah-sah saja jika DPR ingin mengevaluasi MK.

Ancam Independensi MK

Sedangkan Guru Besar Bidang Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran Prof. Susi Dwi Harijanti menilai rencana DPR untuk mengevaluasi Mahkamah Konstitusi dapat mengancam independensi lembaga pengadilan tersebut.

"Kalau terjadi balasan-balasan semacam ini melalui evaluasi, independensi Mahkamah Konstitusi itu dalam posisi bahaya. Ketika independensi Mahkamah Konstitusi dalam posisi bahaya karena diserang terus oleh lembaga politik, itu terjadi politicization of the judiciary, politisasi lembaga pengadilan," katanya.

Padahal, kata dia, berdasarkan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945, kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dengan demikian, jaminan kemerdekaan atau independensi MK sudah dijamin di dalam UUD NRI Tahun 1945.

"Dan itu membahayakan. Karena apa? Hanya pengadilan yang bisa melindungi hak-hak warga negara, dan kepada siapa lagi kita bisa meminta keadilan kalau bukan kepada lembaga pengadilan?" ujarnya.

Ia mengingatkan bahwa MK didirikan dengan tujuan utama untuk menjamin sistem politik yang demokratis serta menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Oleh sebab itu, dia mengingatkan bahwa MK menegakkan keadilan dalam konteks Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024, dan bukan mengambil porsi DPR serta Pemerintah selaku pembuat undang-undang.

"Ya 'kan Mahkamah punya alasan, yaitu ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi bagi peserta pemilihan umum. Apalagi, Mahkamah Konstitusi menurut Pasal 24 UUD NRI Tahun 1945 itu 'kan dia menegakkan hukum dan keadilan, bukan hanya semata-mata menegakkan hukum, melainkan juga menegakkan keadilan," katanya.

Sudah Lama Diwacanakan

Sementara itu, Anggota Komisi II DPR Aminurokhman mengakui DPR sudah sejak lama mewacanakan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Keempat atas Undang Undang Nomor 24 tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi (RUU MK) sebagai upaya evaluasi sistem Pemilu dan ketatanegaraan Indonesia.

Hal itu lantaran beberapa putusan MK dinilai telah melampaui kewenangan, salah satunya putusan terhadap batas usia calon presiden dan wakil presiden termasuk batas usia calon kepala daerah.

“Jika kewenangan DPR diakomidir oleh institusi lain maka pasti akan ada tumpang tindih kewenagan. Kalau ini tidak diatur dalam rumusan UU maka jadi multi tafsir dari kewenangan,” kata Aminurokhman.

Menurut Aminurokhman, pernyataan Ahmad Doli tersebut belum disampaikan kepada para anggota komisi II DPR. Ia pun menilai pernyataan Doli itu sah-sah saja.

Lebih lanjut Aminurokhman yang juga Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR ini menjelaskan bahwa MK seharusnya tetap berada pada jalur dan kewenangannya yang pada saat memutus uji materi tidak menambahkan frasa atau poin lain dalam UU yang telah dikaji kembali.

“Harusnya kalau aturan itu misalnya bertentangan maka UU dikembalikan ke DPR. Karena yang membuat UU itu adalah DPR bersama pemerintah,” jelas dia.

(cw1/Nusantaraterkini.co)

Advertising

Iklan