nusantaraterkini.co, JAKARTA - Penambagan nikel yang yang ada di Raja Ampat, Papua Barat Daya dianggap merusak alam nan indah di negeri bumi Cendrawasih menjadi sorotan tajam berbagai pihak.
Pasalnya, selain alam dirusak perizinan penambangan ini pun juga patut dipertanyakan karena hal ini banyak melibatkan banyak pihak baik dari Pemerintah di pusat maupun di daerah.
Menanggapi hal itu, pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Feri Amsari mempertanyakan mengapa izin tambang bisa terbit di daerah yang jelas dilarang undang-undang untuk ditambang.
“Siapa yang memberikan izin? konsekuensinya adalah kalau izin itu melanggar undang-undang, ada kickback berupa keuntungan finansial ini korupsi, korupsi sumber daya alam (SDA),” kata Feri, Senin (9/6/2025).
Feri mengatakan kejanggalan ini bisa menjadi dasar bagi penegak hukum untuk memulai proses penyelidikan dan penyidikan terkait korupsi sumber daya alam, baik menteri yang menjabat saat ini maupun sebelumnya.
Ia juga menyangkan mengapa Menteri Energi dan Sumber Daya Alam Mineral Bahlil Lahadalia justru hanya menghentikan sementera aktivitas tambang, bukan menghentikan permanen. Padahal, kata Feri, sudah jelas pelanggaran hukumnya.
Feri menjelaskan, ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 telah menegaskan larangan aktivitas tambang di pulau kecil. Pasal 23 ayat (2) beleid ini menyatakan pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya diprioritaskan untuk kepentingan, di antaranya konservasi; pendidikan dan pelatihan; penelitian dan pengembangan; budidaya laut; pariwisata; usaha perikanan dan kelautan serta industry perikanan secara lestari; pertanian organik dan peternakan; dan pertahanan dan keamanan negara.
Adapun di luar tujuan konservasi, pendidikan dan pelatihan serta penelitian dan pengembangan, pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya wajib memenuhi persyaratan pengelolaan lingkungan, memperhatikan kemampuan dan kelestarian, sistem tata air setempat, dan menggunakan teknologi yang ramah lingkungan.
Feri mengatakan undang-undang tersebut juga dengan gamblang menyebutkan bahwa pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km persegi beserta kesatuan ekosistemnya. Sementara Pulau Gag, salah satu dari gugus pulau Raja Ampat yang ditambang, memiliki luas 6 ribu hektare yang setara 60 km persegi.
“Jadi sudah pasti termasuk pulau-pulau kecil sehingga berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tadi, maka tidak boleh dilakukan aktivitas pertambangan,” ucap Feri.
Pertambangan di pulau kecil juga sudah dilarang lewat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XXI/2023. Lewat putusan ini, Mahkamah Konstitusi menguatkan larangan aktivitas tambang di wilayah pesisir dan pulau kecil.
Mantan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas ini juga mengatakan pertambangan di Raja Ampat melanggar Undang-Undang Dasar 1945. Menurut dia, Pasal 33 ayat 4 UUD 1945 secara eksplisit menyatakan bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, dan menjaga keseimbangan kemajuan serta kesatuan ekonomi nasional.
Faktanya, kata Feri, pertambangan di Raja Ampat tidak berwawasan lingkungan dan hanya untuk kepentingan produksi nikel dengan mengorbankan kelestarian lingkungan.
Kental Pelanggaran Pidana
Sementara, Pengamat Kebijakan Hukum Kehutanan Dan Konservasi asal Universitas Indonesia (UI) Budi Riyanto menilai pelanggaran pidana kental dalam aktivitas tambang nikel di kawasan Raja Ampat, Papua Barat Daya.
Dia mengacu pada UU Nomor 1 Tahun 2014 adalah tentang perubahan atas UU Nomor 27 Tahun 2007 mengenai Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Pada Pasal 35 huruf k mengamanatkan pelarangan penambangan mineral di pulau-pulau kecil yang menimbulkankerusakan ekologis, mencemari lingkungan, atau merugikan masyarakat sekitar.
Sedangkan, Pasal 73 ayat (1) huruf f mengatur soal sanksi pidananya. Ancaman pidana penjara mencapai 10 tahun. Budi mengatakan peraturan lainnya yang perlu diperhatikan ialah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH)
"Apabila mendasari pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku, setidaknya ada dua UU yang harus diperhatikan, yaitu UU Nomor 1 Tahun 2014 dan UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Penapisan awal jelas pulau-pulau kecil tidak boleh ditambang. Demikian pula UU PPLH menapis soal kelestatian lingkungan dan Amdal," kata Budi.
Tak hanya itu, Budi mengaitkan aktivitas tambang di Raja Ampat dengan Keppres Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung.
Dia menilai Keppres tersebut mengatur tentang kawasan yang ditetapkan untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup, mencakup sumber alam, sumber daya buatan, nilai sejarah, dan budaya bangsa untuk kepentingan pembangunan berkelanjutan.
"Apabila dikaitkan pula dengan Keppres Nomor 32 Tahun 1990 maka masuk wilayah kawasan lindung maka sangatlah mustahil izin diterbitkan," kata dia.
Ancam Ekosistem Pulau
Terpisah, Anggota Komisi IV DPR Firman Soebagyo sejumlah perusahaan tambang telah melampaui batas kewajaran dalam aktivitasnya.
“Kerusakan lingkungan terjadi serius dan mengancam ekosistem pulau-pulau di kawasan tersebut,” kata Firman Soebagyo.
Anggota Baleg DPR ini menjelaskan, dampak kerusakan meliputi sedimentasi, adalah lumpur menutupi terumbu karang, menghambat fotosintesis, dan mengganggu kehidupan biota laut.
“Lalu pencemaran air, limbah tambang yang mengandung logam berat mencemari perairan laut dan merusak ekosistem,” jelasnya.
Ia menilai pengawasan pemerintah belum cukup. “Pemasangan plang peringatan tidak menyelesaikan masalah. Harus ada penindakan hukum, pencabutan izin, dan kewajiban pemulihan lingkungan oleh perusahaan,” tegas Firman.
Firman juga memberi dukungan kepada Kementerian ESDM dan aparat penegak hukum yang sudah turun langsung menangani kasus ini. Ia menyebut langkah tersebut sebagai bukti keseriusan pemerintah.
Firman mengingatkan, kerusakan lingkungan akibat tambang bukan hal baru. Ia menyinggung pengalaman kunjungan Komisi IV DPR ke wilayah Freeport pada 2014, yang saat itu bahkan dilarang masuk dan dijaga ketat. “Seperti negara dalam negara,” kata Firman
Ia meminta pemerintah tidak tebang pilih dalam menindak pelanggaran. “Jangan sampai seperti kasus Kasuari Laut yang senyap. Ini mengecewakan kami di DPR yang serius menjalankan fungsi pengawasan, namun diabaikan karena perusahaan dikuasai oligarki,” tutup Firman, yang juga sebagai Ketua Umum Ikatan Keluarga Kan Pati Jawa Tengah.
Sebelumnya, Greenpeace Indonesia mengungkapkan, penambangan nikel di Raja Ampat, Papua juga terjadi di sejumlah pulau-pulau kecil yang berdasarkan undang-undang masuk kategori pulau yang tidak boleh ditambang.
“Dari sebuah perjalanan menelusuri Tanah Papua pada tahun lalu, Greenpeace menemukan aktivitas pertambangan di sejumlah pulau di Raja Ampat, di antaranya di Pulau Gag, Pulau Kawe, dan Pulau Manuran,” ujar Juru Kampanye Hutan, Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik
Iqbal mengatakan, ketiga pulau ini dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil karena termasuk pulau-pulau kecil yang tidak boleh ditambang. Menurut analisis Greenpeace, eksploitasi nikel di ketiga pulau itu telah membabat lebih dari 500 hektar hutan dan vegetasi alami khas.
Diketahui, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia telah memutuskan untuk menghentikan sementara semua kegiatan operasional tambang nikel di Raja Ampat, yang terletak di Papua Barat Daya. Keputusan ini diambil menyusul kekhawatiran dari masyarakat dan aktivis lingkungan mengenai potensi kerusakan ekosistem di kawasan Raja Ampat akibat aktivitas pertambangan.
Bahlil menjelaskan, terdapat lima Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel yang terdaftar di Raja Ampat. Namun, saat ini hanya satu IUP yang masih beroperasi, yaitu yang dimiliki oleh PT Gag Nikel (GAK), yang merupakan anak perusahaan dari PT Antam Tbk. Kementerian ESDM kini tengah melakukan pemeriksaan terhadap aktivitas tambang tersebut.
(cw1/nusantaraterkini.co).