"Jika yang kuat terus dibiarkan menginjak yang lemah, maka yang lemah hanya punya dua pilihan: melawan atau hilang dari sejarah."
Di sebuah desa kecil yang teduh, di mana pohon-pohon kelapa berdiri angkuh dan sawah hijau terbentang luas, ada sebuah kedai kopi yang menjadi pusat cerita. Kedai itu kecil, dengan kursi kayu yang berderit setiap kali diduduki. Di sanalah para peternak biasa berkumpul, berbincang tentang segala hal—dari musim tanam hingga harga jagung.
Namun, akhir-akhir ini, pembicaraan mereka selalu soal satu hal: hewan ternak.
"Ini nggak bisa dibiarkan terus!" seru Pak Darmo sambil menepuk meja kayu. Cangkir kopinya bergetar, isinya hampir tumpah. "Sapi-sapi itu makan tanaman jagung saya. Habis, nggak bersisa! Dan lihat, siapa yang mau ganti rugi? Tidak ada!"
Yang lain mengangguk-angguk setuju. Pak Darmo adalah peternak kecil, memiliki tiga kambing dan satu ekor ayam jantan. Namun, kini ia merasa seperti orang asing di desanya sendiri.
"Sapi-sapi itu bukan cuma merusak ladang, tapi juga bikin jalan desa penuh kotoran," sambung Pak Bowo. "Anak saya jatuh waktu naik sepeda kemarin. Siapa yang tanggung jawab? Lagi-lagi, nggak ada!"
Di sudut meja, Pak Leman yang biasanya pendiam akhirnya angkat bicara. "Masalahnya, sapi-sapi itu milik Pak Kades. Dia bilang, sapi-sapi itu bebas berkeliaran karena 'bagian dari tradisi desa.' Tradisi apa? Dulu, hewan ternak ya di kandang, bukan di jalanan!"
Semua terdiam. Mereka tahu, melawan kebijakan Pak Kades adalah perkara rumit. Selain berstatus kepala desa, Pak Kades juga peternak paling kaya. Ia memiliki puluhan sapi, kambing, dan bahkan beberapa kerbau. Semua hewan itu bebas berkeliaran, memakan apa saja, dari padi di sawah hingga tanaman hias di halaman rumah.
"Apa kita nggak bisa buat aturan baru?" tanya Bu Marni, satu-satunya perempuan di meja itu. "Aturan yang melarang hewan berkeliaran tanpa pengawasan."
Pak Darmo mendengus. "Sudah pernah dicoba. Tapi siapa yang bisa melawan Pak Kades? Aturannya dibuat, tapi dia sendiri yang melanggar."
Diskusi mereka terhenti sejenak ketika seorang pria bertubuh kurus dengan mata menyala masuk ke kedai. Namanya Jono. Dia bukan peternak, hanya petani kecil yang ladangnya sudah diratakan oleh kawanan sapi milik Pak Kades.
"Apa kalian mau diam saja?" katanya dengan suara gemetar, campuran antara marah dan putus asa. "Kita ini manusia atau boneka? Desa ini bukan kandang sapi, tapi sekarang mereka yang lebih berkuasa dari kita!"
Pak Bowo menggeleng pelan. "Jono, kamu tahu risikonya. Kalau kita melawan, kita yang akan kalah."
Namun, Jono tidak peduli. Malam itu, ia sendirian mendatangi kandang besar milik Pak Kades, membawa parang di tangannya. Ia berniat mengurung sapi-sapi itu kembali, memasukkan mereka ke dalam kandang yang seharusnya.
Tapi sebelum ia sempat melangkah lebih jauh, beberapa orang yang diduga suruhan Pak Kades menangkapnya. Keesokan harinya, desas-desus tersebar bahwa Jono dipenjara atas tuduhan "mengganggu ketertiban desa."
Hari demi hari berlalu, dan kawanan sapi terus berkeliaran. Mereka kini bahkan masuk ke pekarangan rumah, makan apa saja yang bisa mereka temukan. Warga yang pernah protes kini memilih diam, takut nasibnya akan sama seperti Jono.
Kedai kopi yang dulu ramai kini sepi. Warga mulai meninggalkan desa satu per satu, mencari tempat tinggal baru yang lebih damai. Sementara itu, Pak Kades terus menambah jumlah hewan ternaknya.
Desa itu, yang dulunya tempat tinggal manusia, kini benar-benar berubah menjadi kandang raksasa. Rumah-rumah kosong dipenuhi bau kotoran sapi, jalanan berubah menjadi lintasan ternak, dan sawah menjadi tempat pesta makan para hewan.
Warga yang tersisa hanya bisa menatap dari kejauhan, terpinggirkan di sudut desa yang dulu mereka sebut rumah. Desa itu, kini milik mereka yang punya otot lebih besar dan suara lebih keras—para sapi, dan pemiliknya.
Dan manusia, perlahan, hanya menjadi pengamat di kandang yang dulunya mereka sebut tanah kelahiran.
"Kandang bukan sekadar tempat untuk menahan hewan, tapi simbol kekuasaan yang tak mau diatur. Dan saat manusia lebih memilih diam, mereka tak lagi tinggal di rumah, melainkan di kandang yang mereka bangun sendiri."
Penulis: Junaidin Zai