Nusantaraterkini.co, JAKARTA - Menko Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Permasyarakatan Yusril Ihza Mahendra menegaskan pihaknya dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berencana merevisi Undang-Undang tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Yusril menyebut UU Tipikor perlu direvisi dan disesuaikan dengan Konvensi Antikorupsi PBB (United Nations Convention Againt Corruption (UNCAC) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Menanggapi itu, pegiat Antikorupsi Herdiansyah Hamzah Castro menegaskan seharusnya pemerintah lebih memprioritaskan mengembalikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebelum revisi Undang-Undangnya ketimbang merevisi UU Tipikor.
“Jadi bukan UU Tipikor yang menjadi prioritas tetapi UU KPK nya. Itu kalau kemudian rezim atau kekuasaan sekarang punya mindset bagaimana mengembalikan KPK sebagai lembaga yang lahir sebagaimana ekspektasi publik,” tegasnya, Kamis (12/12/2024).
Lebih lanjut Castro mendorong agar pemerintah lebih mengutamakan untuk membuat Rancangan UU Perampasan Aset.
Sehingga, kata Castro, dua hal tersebut berbanding lurus. Jika tidak, Castro berpendapat akan percuma jika mengembalikan KPK sebagaimana sebelum revisi UU tetapi juga meninggalkan rancangan UU Perampasan Aset.
“Menurut saya dua-duanya penting. Justru kalau kita berdasarkan evaluasi ya harus prioritas pertama ialah pengembalian KPK sebagaimana sebelum RUU. Tetapi secara bersamaan juga harus mendorong RUU Perampasan Aset,” tandasnya.
Rawan Kriminalisasi
Sementara itu, Anggota Komisi III DPR Nasir Djamil menuturkan Pasal 2 dan 3 UU Tipikor perlu direvisi lantaran dipandang rawan jadi alat kriminalisasi.
Nasir yang juga politikus PKS ini menerangkan saat ini beberapa pihak sedang menggugat pasal mengenai korupsi terkait kerugian negara itu ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Diharapkan memang majelis hakim di Mahkamah Konstitusi bisa menilai apakah itu layak diterima. Kalau layak diterima lalu disidangkan, lalu dipilih keputusan," ucap Nasir.
Nasir juga menegaskan bahwa Pasal 2 dan 3 Tipikor seringkali jadi jebakan bagi penyelenggara negara.
Adapun Berikut bunyi kedua pasal tersebut:
Pasal 2
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Pasal 3
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Nasir berpendapat setiap pihak harus cermat dan memastikan bahwa tidak ada celah untuk terjadinya tindak pidana korupsi.
“Kalau pun misalnya ada maka harus ada semacam bukti-bukti bahwa memang dia tidak menerima dan sebagainya," tegasnya.
"Jadi ini yang menurut saya persoalan di daerah atau di lapangan sering sekali tidak ada bukti-bukti otentik. Yang membuktikan bahwa dia tidak menerima aliran dan lain sebagainya," tandasnya.
(cw1/Nusantaraterkini.co)