nusantaraterkini.co, MEDAN – Peringatan Hari Bhayangkara ke-79 yang jatuh pada Selasa (1/7/2025), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Sumatera Utara (Sumut) menyampaikan sejumlah catatan kritis terhadap institusi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Mereka menilai proses reformasi kepolisian masih stagnan dan jauh dari harapan publik.
“Reformasi Polri belum selesai. Setiap tahun, data Komnas HAM selalu menempatkan kepolisian sebagai lembaga yang paling banyak diadukan,” ujar Kepala Operasional KontraS Sumut, Adinda Zahra, dalam keterangan tertulis yang diterima Nusantaraterkini.co.
KontraS mencatat, sepanjang tahun 2024 saja, Komnas HAM menerima 663 aduan terkait kepolisian. Menurut mereka, angka itu menjadi indikator bahwa Polri belum mampu melakukan reformasi menyeluruh terhadap kinerjanya.
KontraS juga menyoroti wacana revisi Undang-undang (UU) Polri yang saat ini tengah bergulir. Draf revisi tersebut berpotensi memperluas kewenangan kepolisian, namun tanpa menyentuh akar masalah seperti akuntabilitas, profesionalisme, dan independensi.
“Alih-alih menjadi solusi, revisi ini justru terkesan politis dan kontraproduktif dengan semangat reformasi,” katanya.
Catatan kedua KontraS masih menyoroti soal mengakarnya kultur kekerasan di tubuh Polri. Dalam periode Juli 2024 hingga Juni 2025, KontraS Sumut mencatat setidaknya ada 17 dugaan kasus penyiksaan, delapan di antaranya melibatkan anggota kepolisian.
“Praktik kekerasan dan penyiksaan masih terjadi dengan minim akuntabilitas. Ini memperkuat kultur impunitas yang membuat kekerasan tumbuh subur dan sulit diberantas,” tegas Adinda.
Ia menambahkan, berbagai praktik penyiksaan, penggunaan kekuatan berlebihan, hingga pembunuhan di luar hukum (extrajudicial killing) masih kerap ditemui dalam berbagai operasi dan penanganan kasus oleh aparat kepolisian.
KontraS juga menyinggung isu politisasi institusi kepolisian dalam ajang pemilu. Mereka menilai, maraknya tudingan soal keterlibatan personel Polri dalam kontestasi politik yang populer disebut dengan istilah "partai coklat" telah merusak netralitas dan kredibilitas institusi.
“Kepercayaan publik terhadap Polri akan terus merosot jika netralitas mereka tidak dibuktikan secara nyata,” ujar Adinda.
Mereka menegaskan agar institusi Polri menjaga marwahnya sebagai alat negara yang independen, khususnya dalam menghadapi tahun-tahun politik yang sarat kepentingan.
Kemudian KontraS menegaskan, peringatan Hari Bhayangkara seharusnya tidak semata-mata menjadi ajang seremonial dan pencitraan. Lebih dari itu, momen ini harus dimaknai sebagai ruang refleksi dan evaluasi menyeluruh terhadap kinerja institusi.
“Jangan hanya parade, lomba, bagi-bagi hadiah, atau papan bunga ucapan selamat. Yang lebih penting adalah pembenahan substansial agar Polri benar-benar menjadi institusi yang prediktif, responsif, dan transparan berkeadilan,” tutup Adinda.
(Cw7/Nusantaraterkini.co).