Nusantaraterkini.co, Vatikan- Jika seorang paus meninggal atau mengundurkan diri—seperti yang terjadi pada Paus Benediktus XVI—Vatikan akan mengadakan konklaf kepausan, yakni pertemuan rahasia para kardinal untuk memilih pemimpin baru Gereja Katolik.
Saat ini, terdapat 138 kardinal dari total 252 yang memenuhi syarat untuk memberikan suara dalam konklaf, yakni mereka yang berusia di bawah 80 tahun.
Pemilihan paus dilakukan melalui pemungutan suara tertutup di Kapel Sistina, di mana seorang kandidat harus memperoleh dua pertiga suara untuk terpilih.
Jika tidak ada hasil yang dicapai setelah empat putaran pemungutan suara setiap harinya, proses akan berlanjut hingga ada kesepakatan.
Dikutip dari laman Independent, Minggu (23/2/2025), berikut adalah sejumlah kandidat kuat pengganti Paus Fransiskus:
1. Kardinal Pietro Parolin (70 tahun, Italia)
Sebagai Sekretaris Negara Vatikan sejak 2013, Parolin adalah sosok moderat yang tidak berpihak pada kubu konservatif maupun progresif dalam gereja.
Ia dikenal sebagai diplomat ulung dan telah menangani berbagai isu geopolitik penting.
2. Kardinal Peter Erdö (72 tahun, Hungaria)
Erdö dikenal sebagai tokoh konservatif dalam Gereja Katolik dan pernah menjabat sebagai Presiden Dewan Konferensi Uskup Eropa.
Ia menentang pemberian komuni bagi umat Katolik yang telah bercerai dan menikah kembali.
3. Kardinal Luis Antonio Tagle (67 tahun, Filipina)
Jika terpilih, Tagle akan menjadi paus pertama dari Asia. Ia dikenal memiliki pandangan lebih terbuka, terutama dalam mendukung kelompok minoritas seperti LGBTQ, ibu tunggal, dan umat Katolik yang telah bercerai.
4. Kardinal Matteo Zuppi (69 tahun, Italia)
Zuppi dianggap sebagai favorit Paus Fransiskus dan memiliki pengalaman diplomasi global, termasuk dalam misi perdamaian di Ukraina dan Amerika Serikat.
Ia juga dikenal sebagai sosok yang mendukung dialog dengan komunitas LGBTQ.
5. Kardinal Raymond Leo Burke (75 tahun, AS)
Dikenal sebagai tokoh tradisionalis, Burke sering mengkritik kebijakan Paus Fransiskus yang lebih liberal.
Ia menentang penggunaan bahasa yang lebih lunak terhadap isu seperti pernikahan sesama jenis dan kontrasepsi.